Menyoal Bulan Baru

Selamat idul fitri saudaraku semua, seru sekali perdebatan kemarin ya? Sebagai orang yang berkesempatan menyicip pendidikan ilmu fisika, dan ditambah satu tugas yang diberikan oleh dosen saya waktu itu, “Ron, pikirkan gimana caranya fisika bisa didiskusikan di ruang umum, di poskamling, kayak ilmu politik”, tentu saja saya merasa bungah.

Ya, bungah, karena tradisi ilmiah seperti inilah yang saya dambakan, apalagi ranahnya fisika banget. Segala bahasan mengenai keemasan keilmuan tokoh-tokoh muslim jaman dulu, jaman eropa sedang di masa kegelapan, terus terang langsung membuncah di kepala saya.

Tetapi memang ada sedihnya, karena bagaimanapun, penentuan bulan baru ini sangat erat kaitannya dengan peribadatan, sehingga dorongan untuk saling klaim jadi besar. Seolah masing-masing butuh validasi bahwa dia yang paling berhak masuk surga. Mohon maaf jika ini salah, tapi itulah yang saya tangkap dan memunculkan perasaan sedih.

Bagaimana kata-kata bid’ah dengan enteng keluar, salah satu yang membuat saya sedih sekali. Meski bid’ah sendiri ada kategorisasinya lagi, sehingga misalnya ada yang disebut sebagai bid’ah hasanah, tetapi dengan penyebutan itu, seolah yang dibid’ahkan itu sesat, ujungnya adalah neraka.

Tapi ya sudah, pilihan-pilihan sikap maupun kata-kata, itu memang pilihan masing-masing. Saya sedang ingin bergembira, karena ini adalah hari kemenangan, mestinya semua bersuka. Jadi, mari kita bahas yang menggembirakan saja, setidaknya bagi saya.

Gerhana Matahari.

Dalam ilmu astronomi, konjungsi (posisi matahari – bulan – bumi dalam satu garis), adalah pertanda pergantian bulan, karena hal ini berarti bulan sudah beredar penuh. Oleh karenanya, setiap konjungsi dihitung sebagai akhir bulan. Maka gerhana matahari, yang terjadi karena matahari, bulan dan bumi berada dalam satu garis, adalah tanda bahwa bulan baru sudah terbentuk.
Permasalahannya kemudian, konjungsi bisa terjadi di pagi hari, siang hari, bahkan tengah malam. Jadi, meskipun secara astronomi disebut sebagai bulan baru, tidak serta merta berlaku dalam penentuan bulan baru seperti di kalender lunar (kalender hijriyah misalnya).

Penentuan bulan baru, terutama dalam kalender hijriyah, sudah disepakati oleh para ulama bahwa hitungannya dimulai dari ketika matahari terbenam. Dalam peristiwa ini, fenomena alam yang tampak kemudian adalah garis lengkung bulan (biasanya tipis) di atas ufuk/cakrawala. Dalam kalender hijriyah dikenal dengan nama hilal.

Penentuan Hilal.

Para ulama mendasarkan penentuan hilal dari rukyat, yaitu melihat secara nyata bahwa hilal memang nampak. Hal ini, dalam islam, diperkuat dengan sabda Nabi Muhammad tentang mengawali maupun mengakhiri puasa, di mana secara terang disebutkan hilal harus bisa dilihat, jika tidak, maka jumlah hari digenapkan.

Namun, berdasar hadits nabi juga, jumlah hari dalam sebulan itu sudah ditentukan, 29 atau 30 hari. Hal ini pula yang kemudian menjadikan diskursus ataupun kajian soal penanggalan ini menjadi sangat menarik dan kental dengan ilmu astronomi.
Karena dalam melihat hilal, tidak sama di setiap daerah. Kalau kita runut sejarah penentuan awal syawal melalui rukyat, kita pernah 2 (dua) kali berpuasa hanya 28 hari, hal yang jadinya tidak sesuai dengan hadits nabi tentang jumlah hari.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Tidak lain karena memang untuk melihat hilal itu tidak mudah, apalagi di daerah tropis dengan tingkat kelembaban udara yang khas ditambah cuaca, topologi dan lain-lain, akibatnya penentuan awal bulan ramadan menjadi mundur karena menggenapkan bulan sya’ban.

Jangan tanya saya soal sah atau tidaknya, dosa atau tidaknya, dan sebagainya terkait hukum agama, karena itu sama sekali jauh dari ranah saya. Yang saya tahu, kalaupun kelak dianggap salah, maka yang menanggung adalah penentu kebijakan. Tetapi sekali lagi, kita abaikan saja dulu bagian itu, toh sebagai umat, ndak ada pengaruhnya ke kita, kan? Lha wong kalaupun dosa, bukan kita yang nanggung.

Kerumitan-kerumitan dalam mengamati hilal ini, kemudian bisa diatasi dengan metode hisab. Karena pola peredaran planet dan bintang itu matematis, maka sudah barang tentu, pergerakannya bisa dimodelkan untuk kemudian bisa ditentukan/diprediksi dengan rumus. Hal ini yang di dalam ilmu keislaman dikenal sebagai hisab.

Sebelum saya cemriwis soal hisab, perlu dipahami bahwa rukyat itu bukan semata soal awal dan akhir bulan. Penentuan waktu sholatpun juga dengan rukyat. Rukyat fajar shadiq untuk menentukan waktu subuh, rukyat bayang-bayang untuk waktu dzuhur, dan seterusnya. Penentuan arah kiblat? Tentu saja juga memakai metodologi ilmu falak. Bisa dibilang, dalam setiap peribadatan kita kaum muslim, di setiap seginya, itu sarat dengan ilmu astronomi.

Dengan kerumitan-kerumitan rukyat yang juga sangat tergantung dengan kondisi geografis, maka pada umumnya, penentuan waktu sholat dan lain-lain, kemudian memakai sistem hisab.

Metode Hisab.

Hisab atau perhitungan astronomis, pada dasarnya terbagi menjadi dua. Hisab Urfi dan Hisab Hakiki. Hisab Urfi adalah hisab dengan mendasarkan pada perhitungan sepenuhnya. Rumusnya didasarkan pada waktu rata-rata peredaran bulan mengelilingi bumi yang menempuh rentang waktu 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik. Karena ada pecahan sebesar 11/30 untuk hitungan setahun, maka perhitungan ini juga memasukkan koreksi untuk tahun panjang (kabisat). Sehingga dalam metode ini, umur bulan ditetapkan sebesar 30 hari untuk bulan-bulan ganjil, dan 29 hari untuk bulan genap. Kecuali ketika memasuki tahun kabisat, maka bulan 12 jadi 30 hari. Model hisab urfi ini bisa kita lihat, misalnya dalam kalender penanggalan Jawa.

Di sisi lain, hisab yang kedua, yaitu hisab hakiki, menggunakan sistem perhitungan dengan mendasarkan pada posisi bulan, baik terhadap bidang ekliptika pada bola langit, maupun bidang horisontal pada permukaan bumi. Oh iya, sebelum lebih jauh lagi, mohon maaf kepada para pengusung bumi datar, ilmuwan islam ndak ada yang percaya bumi datar.

Ada tiga model hisab hakiki, yaitu hisab hakiki taqribi, tahqiqi dan tadqiqi (atau sering juga disebut metode hisab kontemporer). Mari kita simak ketiga jenis metode hisab ini.

Hisab Taqribi.

Dalam metode ini, penentuan hilal awal bulan dilakukan dengan menentukan waktu konjungsi (ijtima’ hakiki), lalu diperbandingkan dengan ijtima’ rata-rata berdasar catatan-catatan sebelumnya. Kemudian waktu ijtima’ rata-rata ini dikoreksi dengan mengurangi hasil pembagian terhadap selisih kecepatan bulan menjauhi matahari sebanyak tiga kali.

Dengan melakukan koreksi terhadap posisi bulan dan matahari, maka akan didapatkan jarak antara bulan dengan matahari. Adapun untuk ketinggian hilal dihitung dari selisih antara waktu matahari terbenam dengan waktu konjungsi (ijtima’), dibagi dua.

Hisab Tahqiqi.

Metode ini bisa dibilang pengembangan dari metode taqribi, yaitu dengan menggunakan kaidah-kaidah matematika modern seperti trigonometri. Juga dengan memasukkan koreksi-koreksi untuk gerak bulan dan matahari. Dengan demikian, hasilnya memiliki tingkat ketelitian yang lebih tinggi dibanding hisab taqribi.

Selain itu, untuk menentukan tinggi hilal pada awal bulan, metode ini menentukan terlebih dahulu posisi rata-rata bulan dan matahari pada bola langit pada waktu matahari terbenam di akhir bulan. Hasil hitung ini kemudian dikoreksi rata-rata sebanyak lima kali dengan juga dihitung parallax serta refraksinya.

Hisab Tadqiqi.

Sebutan kontemporer pada metode hisab ini karena dalam perhitungannya menggunakan metode/rumus matematika terkini. Secara garis besar, mirip dengan hisab tahqiqi, hanya saja koreksinya lebih banyak lagi serta didasarkan pada data-data kontemporer (berdasar data dan temuan-temuan terbaru).

Termasuk dalam kategori hisab tadqiqi ini adalah hisab imkanur rukyat, yang digunakan oleh NU dan Kementrian Agama saat ini, dan hisab wujudul hilal, yang dipergunakan, salah satunya oleh Muhammadiyah. Patut dicatat bahwa Muhammadiyah dulunya memakai sistem rukyat, lalu memakai hisab imkanur rukyat, dan perkembangan terakhir menggunakan hisab wujudul hilal. Tentu saja hal ini berdasar alasan juga, dimana ditemukan kerumitan-kerumitan tertentu, sehingga Muhammadiyah merasa perlu memperbaiki pendekatan imkanur rukyat agar bisa diaplikasikan dalam ranah yang lebih luas.

Perbedaan paling mencolok dari keduanya adalah pada penentuan ketinggian hilal untuk menyatakan sebagai awal bulan. Dalam sidang isbat dua tahun terakhir, kita bisa melihat bagaimana kedua konsep ini beradu ilmu. Sebagai contoh, untuk tahun ini (2023), hisab imkanur rukyat menentukan ketinggian hilal harus di atas 3ΒΊ dengan elongasi 6,4ΒΊ. Angka ini merupakan keputusan bersama dari MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).

Sebagaimana seharusnya hisab hakiki, penentuan ketinggian hilal ini akan selalu diupdate seiring dengan data-data yang dikaji secara terus menerus, yaitu salah satunya, didasarkan pada rata-rata ketinggian hilal yang bisa dirukyat.

Sementara di sisi lain, hisab wujudul hilal mendasarkan pada tiga kriteria apakah hilal sudah mewujud atau belum, yaitu: konjungsi sebelum gurub, bulan terbenam setelah sunset, dan saat gurub, hilal sudah wujud di atas ufuk. Dengan kriteria ini, maka jika hilal sudah wujud meskipun hanya 0,1ΒΊ di atas ufuk (dalam arti tidak mungkin terlihat oleh mata karena pasti kalah oleh cahaya safaq/cahaya matahari), maka bagi hisab ini, bulan baru sudah bergulir.

Mana yang benar?

Dalam sudut pandang keilmuan saya, yang tidak dalam-dalam juga sebenarnya, keduanya benar. Kok bisa? Karena keduanya berpijak pada alasan yang sama-sama kuat. Imkanur rukyat, tak terbantahkan bahwa memang datanya berbicara demikian, hilal bisa dirukyat hanya kalau memenuhi kriteria di atas. Di sisi lain, wujudul hilal juga tidak bisa dibantah, karena nyatanya memang bulan baru sudah bergulir, karena hilalnya sudah wujud. Secara astronomis memang sudah bulan baru, ditambah syarat hilalnya terwujud di waktu petang juga sudah terpenuhi.

Apakah mungkin, ada dua kebenaran? Sekali lagi, dalam keilmuan saya yang nggak dalam-dalam ini, jawabannya: mungkin sekali. Bahkan nilai benar itu bisa lebih dari satu, karena dalam dunia yang serba relatif ini, koordinat sudut pandang juga berpengaruh pada penentuan benar atau tidak.

Akankah ada titik temu?

Dari uraian-uraian semi kronologis di atas, kita bisa lihat, bahwa masing-masing organisasi punya tekad dan keinginan untuk mewujudkan satu titik temu. Muhammadiyah menerima konsep wujudul hilal, salah satunya didasarkan pada kejadian ketika masih menggunakan imkanur rukyat, terjadi perbedaan tanggal awal bulan baru. Dari kasus tersebutlah, pendekatan wujudul hilal dikembangkan.

Di sisi lain, dari NU juga semakin terbuka memasukkan metode hisab, sebagai pendamping rukyat. Ahli-ahli falak di NU bahkan juga pengenyam ilmu fisika modern yang tak main-main, levelnya sudah profesor. Hal tersebut tentunya juga didasarkan pada pengalaman-pengalaman dan bisa jadi buah dari kegelisahan selama ini.

Oleh karenanya, saya pribadi cukup yakin, satu saat, titik temu itu akan ada. Saya, perlu saya ulang sekali lagi, berlepas diri dari kajian mengenai fiqh, ilmu yang saya benar-benar tidak menguasai. Saya memandangnya dari mata seseorang yang kebetulan suka dengan fisika.

Kalau dibilang mengalah, masing-masing sudah “mengalah”, meski kalau saya pribadi menyebutnya bukan demikian. Bagi saya, keduanya sedang berdialektika, beradu pendapat, bertukar pikiran, untuk satu saat akan berujung pada mufakat. Kapan? Jangan tanya saya, karena ini soal waktu. Ingat, kan? Waktu itu makhluk paling istimewa, makhluk yang dijadikan sumpah oleh Allah. Demi waktu.

Saya termasuk di barisan (kalau ada barisannya), yang mendorong kedua belah pihak untuk jangan mengalah. Peras seluruh ilmu dan kepandaian, uji, bandingkan. Lakukan terus. Dengan demikian, pertanyaan soal kapan itu jadi permasalahan keniscayaan.
Saya akan sangat-sangat bersyukur jika Allah mengijinkan saya menjadi saksi sejarah wujudnya titik temu tersebut. Namun, jika ternyata saya harus menjalani hidup dengan menyaksikan perdebatan demi perdebatan, saya yakinkan diri saya sendiri untuk legawa dan berbahagia. Karena bagaimanapun, saya sedang menjadi saksi sejarah sebuah dialog peradaban.

Maka saya tutup tulisan kali ini dengan mengulang ucapan, selamat idul fitri saudara-saudaraku. Semoga bukan hanya kemenangan yang kita dapatkan, namun juga ketenangan dan ketentraman menyelimuti dalam setiap langkah kita. Mohon maaf lahir dan batin.